Bekal Spiritualitas Di Tengah Hiruk Pikuk Dunia dan Neoliberalisme

Konsumerisme

Konsumerisme - Pernahkah Anda melihat orang atau bahkan teman Anda yang kemana-mana meneteng lebih dari satu HP? Apa yang diakatakannya ketika Anda bertanya untuk apa HP-Hp itu? Kadang kita akan mendengarkan penjelasan yang kurang masuk akal atau mengada-ada. Rasanya itu lebih sebagai gaya hidup masa kini. Kita ingin punya banyak barang dan kalau bisa yang bermerk dan berharga mahal. Sekarang ini kita ingin membelanjakan atau membeli berbagai hal, bukan karena kebutuhan, melainkan karena keinginan, gengsi, iri dengan tetangga, dan sebagainya. Orang yang konsumtif tidak percaya diri kalau tidak memakai atau membawa segala sesuatu yang sedang menjadi tren. Inilah konsumerisme. Gaya hidup seperti ini perlu disikapi dengan kebiasaan membuat skala prioritas sesuai urgensi kebutuhan, sikap hidup hemat, dan pengendalian diri. Selain itu, diperlukan ketenangan batin karena mempunyai prinsip dan cara hidup yang pasti.

  1. Pengantar

Manusia membutuhkan berbagai sarana untuk hidup. Ada sarana hidup yang bisa dipenuhi sendiri, tetapi lebih banyak sarana yang harus dibeli karena tidak dapat dipenuhi sendiri. Dalam batas tertentu, apa yang menjadi kebutuhan memang harus dibeli. Namun, banyak orang saat ini membelanjakan uangnya untuk berbagai hal yang sebenarnya bukan kebutuhan. Akibatnya adalah pemborosan.

Perilaku konsumtif merupakan perilaku membeli dan menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan rasional dan memiliki kecenderungan untuk mengonsumsi sesuatu tanpa batas. Orang yang konsumtif lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan, ditandai dengan kehidupan mewah dan berlebihan, serta penggunaan segala hal mewah yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik.

Teks 1: Artikel dari Media Sosial

Masalah Konsumerisme di Kalangan Remaja

Hakikat konsumsi dalam hidup manusia terkait dengan pemenuhan akan kebutuhan hasrat fisik manusia. Maslow, dalam teorinya tentang piramida kebutuhan manusia, mengemukakan bahwa kebutuhan manusia secara berurut meliputi: kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan), kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, kebutuhan rasa aman, serta kebutuhan akan status sosial. Keberlangsungan hidup manusia tidak bisa terlepas dari asupan pangan yang mereka nikmati. Peningkatan intensitas kebutuhan komoditas konsumsi secara rasio memang berkorelasi positif dengan pertumbuhan jumlah manusia. Pada perkembangannya kini, manusia terjebak pada kompleksitas ragam komoditi yang hendak (secara sadar atau tidak) mereka konsumsi. Sekarang kebutuhan tidak lagi sekadar berkaitan dengan nilai guna suatu benda dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia, akan tetapi berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu. Dari sinilah berkembang budaya konsumerisme.

Konsumerisme merupakan paham, aliran, atau ideologi di mana seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Bagi banyak orang, konsumerisme seperti pemburuan prestasi. Berapa dan apa pun harganya, mereka yang menganut ideologi ini pasti akan membayarnya. Konsumerisme bagai urusan mengejar langit di atas langit. Kalau kita kritis, arus konsumerisme inilah yang menyebabkan pola hidup boros. Di kalangan remaja, dikenal istilah “borju” yang diplesetkan menjadi “boros juajan”. Kita terlalu tanpa daya di hadapan tawaran konsumsi itu. Kita dihanyutkan dalam ekstasi konsumsi dan gaya hidup dalam masyarakat konsumen. Apalagi, pasar terus-menerus dan dengan cepat menawarkan produk-produk barunya. Boleh dikata, hidup kita sedang dijajah pasar. Hal ini didukung dengan menjamurnya pusat perbelanjaan semacam shopping mall, industri mode, kawasan huni mewah. Parahnya, saat ini perilaku konsumtif tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, tetapi para remaja juga cenderung berperilaku konsumtif.

Ada beberapa alasan perilaku konsumtif lebih mudah menjangkiti kalangan remaja, salah satunya karena secara psikologis, remaja masih berada dalam proses mencari jati diri dan sangat sensitif terhadap pengaruh luar. Masa remaja merupakan masa penuh gejolak emosi dan ketidakseimbangan sehingga merekamudah terkena pengaruh lingkungan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Reynold menyatakan remaja usia 16 s.d. 18 tahun membelanjakan uangnya lebih banyak untuk keperluan menunjang penam- pilan diri. Remaja ingin dianggap    keberadaannya dan  diakui  eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha  menjadi  bagian dari    lingkungan    tersebut.

Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja mengikuti berbagai atribut yang sedang populer. Salah satu caranya adalah berperilaku konsumtif, seperti memakai barang- barang baru dan bermerek, memakai kendaraan ke sekolah, pergi ke tempat- tempat mewah untuk bersenang-senang (diskotik, restoran, kafe, dan tempat- tempat lainnya) di berbagai penjuru kota. Dengan adanya fasilitas-fasilitas dan tempat perbelanjaan memudahkan akses bagi masyarakat, terutama remaja, untuk berperilaku konsumtif.

Faktor lain yang tak kalah mendukung adalah munculnya majalah-majalah remaja yang menyerupai etalase toko. Isi majalah ini lebih banyak memamerkan produk-produk untuk dijual daripada informasi yang lebih dibutuhkan. Kalangan yang katanya masih dalam pencarian jati diri ini menjadi sasaran empuk dari pasar. Pasar menawarkan gaya hidup dan tren tertentu pada remaja. Untuk memenuhi gaya hidup itu, remaja didorong mengonsumsi produk-produk yang ditawarkan. Mereka suka gonta-ganti merek, mudah hanyut mengikuti tren. Remaja saat ini sering menghabiskan waktu di mal. Mereka bisa pergi ke mal 3-4 kali dalam satu minggu.

Berikut adalah beberapa langkah atau saran untuk memerangi konsumerisme.

  1. Setiap manusia dari semua kalangan harus mampu memprioritaskan konsumsi pada hakikat awalnya, dengan tanpa menafikan kondisi sosio-budaya tempat manusia itu tinggal. Manusia yang bermukim di wilayah dingin Antartika tentu berbeda dengan mereka yang bermukim di daerah tropis India, mulai dari makanan hingga pakaian. Demikianlah sejatinya yang dapat dijadikan pembedaan ragam komoditi konsumsi di tiap-tiap wilayah.
    1. Pembangunan akan berjalan baik serta berkesinambungan apabila menekankan langsung pada kualitas, bukan kuantitas. Ibarat kacang, yang dititikberatkan bukan kulit melainkan isinya, sehingga efisiensi dari penggunaan faktor produksi untuk kebutuhan konsumsi akan dapat tercapai. Pemborosan penggunaan energi dapat pula diminimalisir. Maka dari itu, perlu adanyausaha minimal dengan memberikan informasi tentang perilaku konsumtif yang  terjadi  dikalangan  remaja,  yaitu  dengan  melakukan  “kampanye konsumerisme  di  kalangan  remaja”.  Kampanye  ini  menyosialisasikan perilaku konsumtif remaja, baik dari sisi pengertian, pemahaman, maupun dampak-dampak yang dapat ditimbulkan dalam diri remaja akibat perilaku konsumtif. Kampanye ini diharapkan dapat memberikan kesadaran bagi semua remaja untuk menarik diri dari jeratan konsumerisme yang semakin tinggi.
    • Remaja juga bisa mengimbangi pengaruh konsumerisme dengan kegiatan positif yang  lain,  seperti  mengikuti  kegiatan  olahraga,  kesenian,  kelompok-kelompok diskusi,  atau  berorganisasi.  

Lewat  kegiatan  seperti  itulah,  mereka  bisa mengatasi masalah sosial tersebut. Tentu saja, untuk melawan pengaruh buruk globalisasi ini, perlu pula didukung orang tua, masyarakat, dan juga pemerintah dengan menyediakan media bagi remaja untuk berkreasi. Dengan beragam kegiatan positif ini, kita bisa mengasah kepekaan sosial, rasa nasionalisme, dan patriotisme terhadap bangsa.

  • Pemerintah  harus  lebih  memperhatikan  remaja-remaja  berprestasi,  maka  rasa nasionalisme dan patriotisme akan lebih tumbuh.

Dewasa ini, penghargaa pemerintah  terhadap  remaja  berprestasi  masih  sangat  kurang.  Sebagai contoh, juara olimpiade fisika, kimia, biologi, atau juara-juara lainnya yang mengharumkan nama bangsa kurang dihargai, baik secara materi maupun pengakuan sosial. Kenapa juara kontes idola saja mendapat hadiah mobil mewah, sementara sang juara dunia olimpiade tak dapat apa-apa? Hal itu telah merangsang remaja untuk berlomba-lomba memilih berkiprah di jalur entertainment yang lebih banyak memberi penghargaan dan pengakuan. Mereka  yang  berprestasi  kini  lebih  banyak  diambil  dan  disekolahkan negara lain. Jadi, tak heran bila kita banyak kehilangan aset bangsa sendiri yang sangat berharga, yaitu para generasi muda yang menjadi penentu nasib dan masa depan bangsa ini.

  • 5.  Hari  Tanpa  Belanja  (Buy  Nothing  Day)  

Adalah  sebutan  hari  tidak  resmi untuk melawan budaya konsumerisme. Orang-orang yang merayakan hari tersebut tidak akan melakukan transaksi jual-beli selama 24 jam, kemudian biasanya partisipan melakukan aksi kampanye yang menyerukan bahaya konsumerisme kepada publik dan mengajak mereka untuk berpartisipasi. Kini Hari Tanpa Belanja telah dirayakan secara internasional di lebih dari 30  negara.  Hari  Tanpa  Belanja  bertujuan  memberikan  kesadaran  publik agar lebih peka terhadap apa yang mereka beli, mempertanyakan produk-produk yang mereka beli, perusahaan-perusahaan yang membuatnya, serta membuat orang berhenti dan berpikir tentang apa dan seberapa banyak yang mereka beli telah berpengaruh pada lingkungan dan negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat dan Kanada, Hari Tanpa Belanja biasanya dirayakan sehari setelah perayaan Thanksgiving. Namun di Indonesia, Hari Tanpa Belanja biasa dirayakan pada hari Sabtu pada minggu terakhir bulan November. Begitu juga di tempat lainnya, hari dipilih berdasarkan hari yang paling memungkinkan pada saat itu orang-orang menghabiskan waktu untuk berbelanja. Dengan dicanangkan Hari Tanpa Belanja ini, diharapkan dapat mengurangi tingkat konsumerisme di kalangan remaja, khususnya di Indonesia.

Dari sarikan dari : http://siskapurkasih.blogspot.co.id/2008/10/masalah-konsumerisme-di-kalangan-remaja.html

Teks 2

Cinta Suster Magdalena pada Kemiskinan

Sebagai putri Santo Fransiskus yang sejati, dalam segala hal Ibu Magdalena Daemen melatih diri melaksanakan kemiskinan injili yang paling ketat. Apabila ia diberi makanan, minuman, atau pakaian yang dibutuhkan, selalu diterima sebagai derma dan senantiasa berterima kasih dengan salam orang miskin, “Tuhan akan membalas Anda.” Yang paling jelek dan paling hina sekalipun, baginya merupakan yang paling indah dan paling berharga. Ia tidak pernah lagi mau menerima sesuatu selain yang paling dibutuhkan. Suster Fransiska mengatakan kepadanya, “Suster Magdalena, pakailah pakaian hangat ini. Pakaian ini sengaja dibuat untuk Anda guna melindungi Anda terhadap dinginnya angin.” Maka, ia dengan ramah mengucapkan terima kasih dan berkata, “Tidak, Suster tercinta, pakaian dalam yang saya pakai masih dapat saya pakai dengan baik apabila diperbaiki.” Ia menunda sampai berhari-hari, bahkan bertahun-tahun, untuk merasa puas dengan pakaian dalamnya yang pertama sampai pada wafatnya. Pakaian itu ternyata telah memiliki 32 tambalan dengan 12 tisikan.

Dengan sangat sedih Suster Magdalena, hamba Yesus yang miskin, melihat bagaimana  para  suster  melanggar  kemiskinan  suci  dengan  kurang  peduli pada pemborosan pakaian, benang, kertas, dan kadang-kadang sesuatu yang masih bisa dipakai terletak begitu saja di lantai. Ia mengambilnya dengan teliti, meletakkan pada tempat yang sesuai supaya barang itu tidak hilang. Segala sesuatu yang dipakainya dipelihara dengan kesungguhan yang besar sebagai hamba yang setia yang memperhatikan kesejahteraan tuannya, atau sebagai anak yang saleh, ia sedapat mungkin bekerja sama untuk memelihara barang- barang orang tuanya, atau sebagai seorang pemungut cukai yang jujur, ia setiap waktu siap mempertanggungjawabkannya. Suster Magdalena bekerja keras untuk kesejahteraan tarekat dengan teladan hidup dan doanya yang penuh semangat. Ia mendapatkan kebenaran dari kata-kata ini, “Seorang biarawati yang puas dengan barang kecil dan hatinya tidak melekat pada barang-barang duniawi mendapatkan kebahagiaan surgawi dalam dirinya.”

(Sumber: Buku Taman Bunga Santo Fransiskus, hal. 62-63)

  1. Setelah membaca teks pertama, apakah menurutmu budaya konsumerisme sudah ada dalam lingkunganmu? Berilah contohnya!
    1. Efek negatif apa yang sudah Anda rasakan dari budaya konsu- merisme?
    1. Teladan apa yang dapat kita peroleh dari hidup Ibu Magdalena Daemen?

Peneguhan

Perilaku konsumtif adalah sebuah masalah bagi kehidupan yang dikemudian hari  khususnya pada remaja, karena cenderung para remaja tidak menanamkan sifat untuk hidup hemat, dan sifat produktif, dari hidup berperilaku konsumtif yang berlebihan akan mengakibatkan hal yang lebih besar nilai negatif contohnya antara lain :

  1. Sifat boros, yang hanya menghambur hamburkan uang dalam arti hanya menuruti  nafsu belanja dan keinginan semata.
  2. Kesenjangan atau ketimpangan sosial, artinya dikalangan masyarakat terdapat kecemburuan, rasa iri, dan tidak suka didalam lingkungannya dia berada.
  3. Tindakan kejahatan, artinya seseorang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan barang yang diinginkannya.
  4. Akan memunculkan orang-orang yang tidak produktif, dalam arti tidak dapat menghasilkan uang melainkan hanya memakai dan membelanjakan.

Budaya konsumerisme saat ini sudah semakin parah, sehingga perlu adanya upaya bagaimana mengubah perilaku konsumtif menjadi produktif dan hal tersebut harus dilakukan secara masif dari lingkungan terkecil dan sejak dini.

Bagaimana cara mengurangi budaya konsumtif?, tentu jawabannya adalah kita harus berusaha memproduksi kebutuhan-kebutuhan kita sendiri. Tidak semua kebutuhan dapat kita produksi atau penuhi sendiri, pasti ada beberapa yang bisa kita penuhi secara pribadi. Di mulai dengan pemenuhan kebutuhan primer, contohnya makanan. Kita bisa membuat makanan untuk diri kita sendiri tanpa harus membelinya di warung atau rumah makan. Tetapi bagaimana dengan bahan yang digunakan?. Ada beberapa bahan makanan yang bisa kita tanam sendiri, yang bisa kita petik dari kebun pribadi. Tidak perlu kebun yang luas tetapi cukup dengan memiliki sedikit tempat untuk menanam tanaman atau pohon yang berguna di halaman belakang atau halaman depan. Berkebun selain untuk mengurangi perilaku konsumtif juga bisa melatih diri kita dalam menumbuhkembangkan suatu kebiasaan atau perilaku yang dapat membentuk sebuah karakter dengan jiwa pekerja keras. Berkebun dapat mengasah kemampuan kita untuk bertanggungjawab dan memelihara sesuatu dengan baik dan benar. Berkebun dapat membuat suasana rumah yang sejuk, nyaman, asri dan mengurangi polusi.

Belajar dari Ibu Magdalena Daemen keyakinan bahwa “Tuhan yang akan menyelenggarakan” telah menumbuhkan harapan baru. Harapan yang digantungkan pada keyakinan bahwa Allah memiliki rencana indah atas hidup kita. Keyakinan ini membuatnya terus mengupayakan agar semuanya menjadi lebih baik. Tidak menyerah dalam menghadapi kesulitan. Berani terus belajar untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang kita miliki. Waktu adalah anugerah-Nya sendiri, tidak selayaknya kalau kita biarkan berlalu tanpa makna.Tidak mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan nampak ketika ibu Magdalena Daemen menghadapi persoalan kebutuhan akan kain untuk membuat habyt sementara tidak ada uang untuk membelinya, ibu Magdalena Daemen menunjukkan kualitas pribadi yang luar biasa. Ia tidak hanya berpangku tangan saja. Ia ikuti teladan bapa Fransiskus Assisi saat tidak tahu kemana Tuhan hendak mengutusnya. Ia berjalan mengikuti suara hati sampai Tuhan memberikan jawaban atas persoalan mereka. Persoalan tidak akan pernah selesai hanya dengan berpangku tangan saja. Terus berupaya dan berdoa adalah langkah yang bijaksana.

  • Refleksi

Cobalah ingat dan renungkan pengalaman hidup Anda. Apakah Anda termasuk penganut konsumerisme? Tulislah niat-niat Anda untuk memperbaiki perilaku itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *