Kepemimpinan Berdasarkan Keteladanan - Tugas seorang pemimpin adalah memengaruhi, mengajak, dan mengoordinasi anggotanya untuk mencapai tujuan. Ada banyak cara untuk mengajak anggota melakukan sesuatu, salah satunya dengan cara keteladanan.
Kepemimpinan dengan keteladanan ditandai dengan “cara meminta” yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Apa yang ingin dilakukan oleh orang lain atau anggotanya adalah apa yang telah dilakukan oleh si pemimpin. Dengan demikian, seorang pemimpin akan melakukan terlebih dahulu sebelum meminta orang lain melakukannya. Karena keteladanan seorang pemimpin, anak buahnya akan melakukan hal yang sama tanpa pernah diminta. Apa yang dilakukan sang pemimpin akan menjadi model atau bahkan inspirasi bagi anak buahnya. Demikianlah, kepemimpinan dengan keteladanan tidak memerlukan banyak perkataan, tetapi dengan dasar saling pengertian.
- Pengantar
Dari sejarah berdirinya Kongregasi OSF, kita dapat melihat bahwa “keteladanan” menjadi kunci. Keteladanan inilah yang menjadi kekuatan utama dalam gaya kepemimpinan Ibu Magdalena Daemen. Bahkan dapat kita katakan bahwa semua dimulai dari keteladanan. Terbentuknya kongregasi dimulai dari komunitas kecil di Heythuysen. Anna Maria, Gertrudis Kerkels, dan Maria Catharina Deckers bergabung karena melihat kebaikan Ibu Magdalena dengan segala aktivitas yang sangat membantu masyarakat desa. Melihat itu, timbul niat mereka untuk mengikuti jejaknya. Pada perkembangan berikutnya, keteladanan ini menjadi tiang utama dalam menjaga keutuhan kelompok kecil ini. Contoh yang menonjol tampak pada pelajaran rohani. Pelajaran rohani yang diberikan adalah sesuatu yang diyakini dan telah dilaksanakan sendiri oleh Ibu Magdalena. Pelajaran yang diberikan telah menjelma dan sungguh-sungguh hadir dalam diri Ibu Maria Magdalena.
Jika model kepemimpinan berdasarkan keteladanan sukses mengantarkan Ibu Magdalena Daemen dalam mendirikan kongregasi baru, apakah model ini juga masih bisa diterapkan pada masa sekarang?
- Materi
Bacalah artikel dari harian Kompas berikut ini. Temukanlah keteladanan yang dilakukan oleh sang tokoh dan risiko yang dialaminya untuk meraih keberhasilannya.
Sarji dan Dimin
Pejuang Sampah Bumi Paguntaka
Di usia senja, Sarji Sarwan (63) dan Dimin (64) tidak kehilangan semangat. Lewat tangan-tangan keriput mereka, keduanya memberi semangat kepada generasi lebih muda agar berperan mengurangi beban sampah di Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Dari kejauhan, tubuh kurus Sarji tergopoh-gopoh turun dari sepeda motor menuju tempat pengolahan sampah Kelompok Sosial Masyarakat (KSM) Ramah Lingkungan di Kampung Enam, Kecamatan Tarakan Timur, Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Mukanya kusut. Ia terlihat kurang tidur. Namun, senyumnya tetap ramah.
”Maaf, saya baru pulang dari rumah sakit. Semalam begadang karena istri sedang sakit,” katanya lirih. Akan tetapi, seperti ingin mencairkan suasana, dengan cepat ia mengatakan, istrinya, Sumartini, tidak keberatan ditinggal sebentar. Selama ini, istrinya selalu menerima dengan tangan terbuka orang lain yang ingin belajar mengelola sampah.
Ingatan Sarji kembali saat pertama mulai mengumpulkan sampah sisa rumah tangga bersama Sumartini, 12 tahun lalu. Saat itu, motifnya sederhana. Keduanya sekadar ingin memuaskan hobi memelihara tanaman hias. Mereka yakin sampah buah hingga sayuran busuk yang mereka kumpulkan, dari mengetuk satu per satu rumah tetangga, sangat baik menyuburkan tanaman hias yang mereka punya. ”Awalnya beberapa tetangga juga meragukan yang saya lakukan,” katanya.
Bank Sampah
Nada sumbang tak dihiraukan. Sarji dan istrinya bahkan semakin bersemangat. Sampah organik membuat tanaman jauh lebih subur dan rimbun ketimbang milik tetangga. Satu per satu tetangga, termasuk yang pernah meragukannya, datang dan bertanya tentang rahasia di balik suburnya tanaman Sarji. Ia pun membeberkan rahasianya, penggunaan sampah sebagai pupuk organik. Satu per satu tetangganya mulai melakukan langkah serupa.
Melihat minat warga yang semakin tinggi, Sarji berpikir tren itu bisa menjadi semangat lebih besar ketimbang menyuburkan tanaman. Ia yakin, pemilahan sampah yang dilakukan secara mandiri mulai dari rumah bisa mengurangi beban pengelolaan sampah di kota berjulukan ”Bumi Paguntaka” ini. Diambil dari bahasa suku Tidung, ”Bumi Paguntaka” diartikan sebagai bumi kita.
Tahun 2008, Sarji mewujudkan mimpinya. Ia menginisiasi berdirinya tempat pengelolaan sampah yang dinamakan KSM Ramah Lingkungan. Di tempat ini, Sarji lebih leluasa mengolah sampah. Tidak hanya limbah rumah tangga, Sarji juga mengumpulkan kertas dan rongsokan hingga menampung kotoran ayam dan limbah kulit udang. Sebagai salah satu daerah produsen utama, tidak sulit menemukan limbah kulit udang di Kota Tarakan.
”Untuk memberikan rangsangan kepada warga saat memilah sampah dari rumah, kami menerima sampah dengan uang sebagai gantinya,” ujarnya. Dibantu tujuh karyawan, Sarji lebih leluasa mengumpulkan limbah organik. Dalam sebulan, bisa dikumpulkan 1 ton limbah sayur, kotoran busuk, hingga kulit udang untuk menghasilkan pupuk organik.
KSM ”Ramah Lingkungan” terus melebarkan sayap. Untuk menjaring banyak warga, ia menginisiasi pendirian empat bank sampah di empat RT di Kampung Enam. Mirip dengan menabung di bank konvensional, nasabah mendapat buku tabungan. Sampah yang masuk dan uang yang dikeluarkan terdata rapi.
”Kini, nasabahnya mencapai 1.595 rumah tangga. Mayoritas adalah warga Kampung Enam. Mungkin nomimalnya tidak mencapai jutaan rupiah dalam sebulan, tetapi uang hasil penjualan sampah itu ikut membiayai usaha, dana pengobatan, dan keperluan anak-anak sekolah,” katanya.
Kemandirian dari Kampung Enam itu juga mendorong pemerintah dan swasta ikut berperan. Pemerintah Kota Tarakan, misalnya, memberikan penghasilan bulanan kepada karyawan KSM sebesar Rp 1 juta-Rp 1,5 juta. Pertamina, yang melakukan eksplorasi di Tarakan, ikut menyediakan tempat dan infrastruktur penunjang pengolahan sampah lainnya.
Limbah Kulit Bawang
Berjarak sekitar 2 kilometer dari Kampung Enam, Dimin melakukan hal serupa sejak tahun 2007. Jika Sarji mempromosikan pemilahan mulai dari rumah, Dimin memulainya di Pasar Boom Panjang, pasar tradisional utama di Tarakan. Saat Sarji mencampur limbah kulit udang dengan kotoran ayam, di bawah bendera KSM Industri Sampah dan Edukasi, Dimin memanfaatkan limbah kulit bawang dicampur kotoran sapi menjadi pupuk organik.
”Sedikitnya ada 25-30 kilogram kulit bawang dan sampah sayur yang kami kumpulkan setiap hari. Omzetnya mencapai Rp 1,6 juta per bulan,” ujarnya, sembari memperlihatkan isi buku catatan pengumpulan sampah yang ia susun sendiri.
Dimin mengatakan awalnya tidak sengaja berjibaku dengan limbah sayur Pasar Boom Panjang. Mantan surveyor ceruk minyak di Tarakan ini melakukannya setelah pembibitan tanaman terbengkalai. Saat itu, banyak konsumennya alpa membayar bibit tanaman yang telah dipesan.
Saat bersamaan, tawaran mengelola sampah pasar menjadi produk yang lebih berguna datang kepadanya. ”Tugas paling berat ketika menjamin pengolahan sampah tidak menimbulkan bau menyengat yang merugikan pedagang di sekitar pasar,” ujarnya.
Dimin berinovasi. Sampah yang diolah tidak diletakkan di wadah tertutup. Tujuannya, mencegah air lindi sisa pembusukan sampah tidak mengendap yang memicu bau menyengat. Tanaman yang dijejalkan di lahan berukuran 25 meter x 20 meter membuat pojok KSM Industri Sampah dan Edukasi menjadi yang terhijau dalam kompleks Pasar Boom Panjang.
Berguna
Lama berkarya dalam senyap, Sarji dan Dimin menjadi dua nomine peraih Kalpataru 2015. Pengakuan itu melengkapi banyak penghargaan tingkat daerah yang pernah diraih sebelumnya. Namun, dengan alasan peran mereka belum merangkul banyak orang, keduanya urung membawa pulang ”si pohon emas”.
“Saya disarankan menambah lebih banyak nasabah bank sampah. Jika sekarang sekitar 1.500 rumah tangga di satu kelurahan, sarannya bisa ditambah menjadi
3.000 rumah tangga, yang artinya sama dengan tiga kelurahan. Itu akan jadi tantangan menyenangkan bagi saya,” tutur Sarji. Seperti Sarji, Dimin juga tidak patah arang. Ia justru semakin bersemangat menerima banyak kunjungan pelajar dari sekitar Tarakan hingga beberapa negara di Asia dan Eropa. Pesona tempat pengelolaan sampah di tengah pusat ekonomi masyarakat menjadi hal unik karena tidak banyak dilakukan di tempat lain. Ia lebih memikirkan terus memenuhi pesan neneknya ketimbang mempermasalahkan mendapat penghargaan atau tidak.
”Beliau selalu bilang, ingat saat bekerja atau melakukan sesuatu, saya harus berguna bagi banyak orang,” ujar Dimin, menirukan pesan neneknya
(Sumber: Harian Kompas, Kamis, 29 Agustus 2015)
- Nilai-nilai kepemimpinan macam apa yang telah dilakukan oleh tokoh yang ada?
- Bagaimana cara si tokoh mengajak masyarakat untuk mewujudkan cita-citanya?
- Kesulitan/risiko apa yang dihadapinya?
Peneguhan
Kepemimpinan Dengan Keteladanan

Kepemimpinan dengan keteladanan ditandai dengan “cara meminta” yang dilakukan oleh seorang pemimpin. “ Apa yang ingin dilakukan oleh orang lain atau anggotanya adalah apa yang telah dilakukan oleh si pemimpin itu sendiri“. Dengan demikian seorang pemimpin akan melakukan terlebih dahulu sebelum meminta orang lain melakukannya.
Bahkan sebenarnya karena keteladanan seorang pemimpin maka anak buahnya akan melakukan hal yang sama tanpa pernah diminta. Apa yang dilakukan sang pemimpin akan menjadi model atau bahkan inspirasi bagi anak buahnya. Demikianlah, nampak bahwa kepemimpinan dengan keteladanan tidak memerlukan banyak perkataan., tetapi dengan dasar saling pengertian.
Dalam bahasa jawa ada istilah ”JARKONI” kependekan dari ”Iso ujar ora iso nglakoni ” yang artinya ” Hanya pandai bicara tidak bisa melaksanakan.” Barang kali tipe orang jarkoni inilah yang banyak kita ketemukan saat ini. Tidak mengherankan kalau dikalangan kaum muda banyak terjadi krisis identitas yang salah satu penyebabnya adalah tidak adanya figur yang dapat dijadikan contoh, dijadikan model dijadikan teladan.
” Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat kepadamu, perbuat demikian juga kepada mereka. ” kata-kata bijaksana Kristus ini secara jelas ditujukan kepada kita. Sebab dalam kehidupan sehari-hari kita sering menuntut orang lain melakukan apa yang kita katakan, sedangkan perilaku dan tindak-tanduk kita bertolak belakang dengan apa yang kita katakan tersebut. Sebelum perjamuan terakhir, yang kita peringati dalam kamis putih, Yesus telah memberikan teladan dan nasehat dalam peristiwa pembasuhan kaki.
Kaki adalah bagian paling bawah dan paling sering terkena kotoran. Pada jaman Yesus orang orang miskin berjalan tanpa alas kaki, sedangkan orang kaya menggunakan kasut. Bentuk penghormatan kepada tamu yang datang pada jaman yahudi adalah dengan menyuruh seorang hamba untuk membasuh kaki tamu sebelum masuk rumah. Dan kali ini Yesus melakukan hal yang sama. Membasuh kaki para muridnya sebelum perjamuan makan bersama.
Yesus telah merendahkan diri Nya sama seperti seorang hamba yaitu dengan mencuci kaki para muridnya. Dengan merendahkan diri Yesus memberikan penghormatan, memberikan penghargaan kepada para muridNya yang berasal dari kaum miskin, kaum sederhana. Yesus memberikan teladan bagaimana menghargai dan melayani sesama, tgerutama mereka yang miskin dan terpinggirkan.
” Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu ? kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu. Sebab aku telah memberi teladan kepada kamu, supaya kamu juga sama seperti yang telah kuperbuat kepadamu.”
Melalui peristiwa ini Yesus juga mengingatkan para muridnya untuk dapat bersikap rendah hati. Kedekatan mereka dengan Yesus bukan berarti dekat dengan kekuasaan dan menjadikan mereka sebagai orang besar , yang layak mendapat penghormatan. Justru sebaliknya yang diminta Yesus. Karena telah dibersihkan, telah disucikan, maka para murid berkewajiban untuk saling membersihkan, saling menyucikan. Yesus memberikan keteladan akan kerendahan hati dan belas kasih untuk saling melayani.
Demikianlah hamba setia yang sangat sederhana, ingat betul akan perintah ini. Maka “Keteladanan” dijadikan kata kunci keberhasilan Ibu Maria Magdalena Daemen dalam mendirikan sebuah tarekat baru. Nampaknya keteladanan inilah yang menjadi kekuatan utama dalam gaya kepemimpinan beliau. Bahkan dapat kita katakan bahwa segala sesuatunya dimulai dari sebuah keteladanan. Keteladan yang berpusat pada pribadinya sendiri. Kepribadian yang penuh dengan keutamaan-keutamaan yang sungguh pantas untuk dikagumi.
Pada tahab awal aspek keteladanan sungguh memegang peran yang sangat besar. Terbentuknya konggregasi baru dimulai dari komunitas kecil di Hethusen. Berawal dari sebuah keteladanan, Anna Maria, Gertrudis Kerkels dan Maria Catharina Deckers sebagai anggota–anggota pertama komunitas kecil di Heythusen, bergabung karena melihat kebaikan Maria Magdalena Daemen dengan segala aktivitas yang sangat membantu masyarakat desa dan karenanya beliau sangat dihargai oleh penduduknya. Ia sangat dihormati dan disegani di desa tersebut. Melihat itu semua timbul niatan mereka untuk mengikuti jejaknya.
Pada perkembangan berikutnya pun keteladanan ini menjadi tiang utama dalam menjaga keutuhan kelompok kecil ini. Sebagai contoh nampak menonjol pada pelajaran rohani Suster Maria Magdalena Daemen. Pendidikan atau pelajaran rohani yang diberikan Ibu Magdalena Daemen kepada para Suster adalah apa yang diyakini dan apa yang telah dilaksanakannya sendiri. Para suster tidak menerima pelajaran yang sifatnya teoritis dengan kata–kata yang indah mempesona, tetapi sesuatu yang real, nyata yaitu dapat dilihat dan dibuktikan dalam kehidupan pribadi Suster Maria Magdalena Daemen sehari–hari. Pelajaran yang diberikan telah menjelma dan sungguh–sungguh hadir dalam diri Ibu Maria Magdalena Daemen. Tentu saja pelajaran semacam ini jadi sangat mudah dimengerti, dipahami dan dicoba untuk dilaksanakan.
Sebagai contoh, pelajaran tentang kemiskinan suci beliau tunjukkan dalam menghadapi kemiskinan di tahun–tahun awal tinggal di tengah desa, dan juga di tahun–tahun berikutnya. Kemiskinan tidak diajarkan melalui teori tetapi diajarkan dengan dijalani bersama–sama dalam kehidupan sehari-hari.
Iman kepercayaan yang tak tergoncangkan beliau ajarkan dengan ditunjukkan dalam menghadapi setiap persoalan yang selalu menghadang dalam sepanjang hidupnya. Dalam menghadapi setiap kesulitan para Suster boleh belajar arti ketegaran hati dan semangat pantang menyerah yang beliau tunjukkan.
Ketaatan dalam doa beliau tunjukkan dalam perjalanan hidup bersama hingga saat–saat akhir hidupnya yang bahagia. Dan seterusnya . Pribadi Ibu Maria Magdalena itu sendiri merupakan sumber pelajaran yang tak akan pernah kering kita timba.
(diambil dari “ Ibu Magdalena Daemen dan kongregasinya : dalam sebuah refleksi )
- Catatan Refleksi
Dari contoh kasus di atas, apa hal menarik yang dapat Anda petik? Tulislah hal-hal yang mengesankan Anda dan upaya yang akan dilakukan untuk meneladan tokoh-tokoh dalam teks di atas.