Bekal Spiritualitas Di Tengah Hiruk Pikuk Dunia dan Neoliberalisme

Budaya Instan

Budaya Instan - Budaya instan adalah paham yang ingin cepat menikmati hasil tanpa mau melalui proses atau prosedur. Memilih jalan pintas demi mencapai tujuan tertentu, kalau perlu menghalalkan segala cara. Untuk menghadapi budaya instan, perlu ditanamkan kesadaran bahwa segala sesuatu harus melalui proses. Maka, diperlukan semangat ketekunan untuk berusaha, cinta pada pekerjaan, teguh dalam sikap dan pendirian, serta semangat kerja keras.

Dengan meneladan Ibu Magdalena Daemen, kita mencoba menjadikan neoliberalisme sebagai sebuah tantangan. Kita diajak berani menaklukkan pengaruh neoliberalisme.

  1. Pengantar

Bersakit-sakit dahulu, berenang-renang kemudian. Untuk menjadi kaya, pandai, memiliki jabatan, dan sukses, dibutuhkan kerja keras. Namun, hal itu dapat juga dicapai dengan cara yang mudah, murah, cepat, dan instan. Banyak orang ingin mendapatkan hasil dengan cepat tanpa mau bersusah-susah dan melalui proses. Itulah budaya instan. Keinginan untuk mendapatkan segala sesuatu dengan cepat dan mudah menjadi tuntutan orang saat ini. Tak heran, budaya instan telah menjadi budaya baru bagi masyarakat modern. Bagaimana cara bertahan di tengah budaya instan yang kian menjamur ini?

  • Langkah-Langkah Pembelajaran
  • Membaca teks bacaan

Teks 1

Adeline Tiffanie Suwana: “Penebar Racun” Cinta Lingkungan

Presiden Sukarno pernah berpidato, “Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.” Tak terhitung berapa banyak pemuda yang karya-karyanya telah mengubah dunia. Walaupun umurnya belum seberapa, jangan pernah anggap enteng anak muda. Mereka punya berlimpah energi dan sejuta ide menyegarkan. Lihat saja Adeline Tiffanie Suwana.

Ia baru berusia 18 tahun, tetapi yang ia lakukan untuk lingkungan barangkali jauh melampaui mereka yang berumur dua kali lipat. Umurnya baru 11 tahun saat Jakarta direndam banjir besar pada 2007. Tempat tinggalnya di Kelapa Gading tak luput dari banjir dan berubah seperti kota mati. Bersama keluarganya, Adeline terpaksa mengungsi selama beberapa hari. Adeline kecil tak habis pikir, mengapa ada satu daerah di Jakarta direndam banjir, tetapi ada daerah lain yang juga masih di Jakarta, tetap kering, jauh dari banjir. “Saya bingung, kenapa masih satu Jakarta, di satu tempat banjir, tetapi di tempat lain kering,” Adeline mengenang banjir delapan tahun lalu. Kala itu, ada puluhan ribu warga Jakarta yang terpaksa menginap di tempat pengungsian, kerabat, atau hotel selama beberapa hari. Adeline bertanya kepada orang tua, keluarga, dan gurunya. Ada yang menjawab banjir merupakan kehendak Tuhan dan ada yang mengatakan banjir disebabkan sampah yang menumpuk di banyak tempat sehingga menyumbat air yang semestinya mengalir. Penjelasan dari gurunya di sekolah membuat jidat Adeline makin berkerut. Sang guru menjelaskan bahwa terjadinya bencana alam, seperti banjir dan perubahan cuaca yang ekstrem, disebabkan oleh pemanasan global atau global warming. Istilah yang baru didengar Adeline.

Diliputi rasa penasaran dan rasa ingin tahu yang tinggi, Adeline mencari informasi melalui internet. Setelah paham apa itu pemanasan global dan dampaknya bagi kehidupan manusia dan alam, menurut Adeline, semua orang harus tahu tentang informasi tersebut.

“Ini persoalan serius. Kenapa tak semua orang tahu tentang ini?” katanya. Dengan penuh semangat, Adeline mengajak teman-temannya berdiskusi. Mula-mula dari teman dekat di kelas, lalu lama-lama berkembang ke tingkat sekolah. Adeline menjadi “kompor” bagi teman-temannya supaya tak hanya melulu berdiskusi, tetapi harus melakukan sesuatu.

Saat liburan sekolah, ia mengajak puluhan temannya menanam bibit tanaman bakau di hutan mangrove Pantai Indah Kapuk. Dari gerakan “kecil” inilah lahir komunitas Sahabat Alam. Walaupun anaknya punya segudang aktivitas, orang tua Adeline sama sekali tak keberatan. Sebab, Adeline memang anak yang sangat pintar. Bahkan orang tuanya tak perlu membiayainya sekolah karena ia selalu mendapat beasiswa. Lantaran ongkos sekolahnya sudah ditanggung beasiswa, ia minta dana nganggur dari orang tuanya dialihkan peruntukannya. “Saya melobi orang tua, karena saya dapat beasiswa, bagaimana kalau dana edukasi dialihkan untuk kegiatan Sahabat Alam,” ujar Adeline.

Orang tuanya tak keberatan. Bahkan, karena melihat anaknya serius menggerakkan Sahabat Alam, keluarga besarnya merelakan dua ruangan di lantai tiga rumah-toko di kawasan Kelapa Gading digunakan sebagai kantor komunitas yang didirikan putrinya bersama teman-temannya. Adeline bersyukur memiliki orang tua yang memotivasi dan mendukung kegiatannya. Ia selalu ingat dua pesan penting orang tuanya yang membuat semangatnya terlecut. “Kalau kamu percaya bisa melakukan sesuatu yang baik, lakukanlah supaya tidak penasaran dan kejarlah yang ingin kamu lakukan,” Adeline mengutip pesan ayah-ibunya. Sekarang, ada lebih dari 25 ribu relawan bergabung dalam Sahabat Alam. Kegiatan yang dilakukan tak melulu menanam bakau, tetapi juga membersihkan pantai, mengolah sampah, membuat biopori atau lubang resapan air, menanam pohon, serta melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang pentingnya mencintai alam dan peduli terhadap lingkungan. Sejak berdiri hingga sekarang, sudah lebih dari 100 aktivitas peduli alam dan lingkungan yang dilakukan sukarelawan Sahabat Alam. Semua digerakkan tanpa memungut biaya dari para relawan.

Untuk mengongkosi kegiatan Sahabat Alam, selain dari kantong pribadi, Adeline mendapat banyak bantuan dan sumbangan dari berbagai instansi, lembaga swadaya masyarakat, dan donasi masyarakat. Sahabat Alam juga menggalang dana dengan menjual rupa-rupa kaos dan pin.

Adeline juga beruntung ada orang yang bermurah hati meminjamkan tanahnya di Depok untuk lokasi pembibitan. Ada sekitar 2.000 bibit di sana. Adeline, yang saat ini menjadi mahasiswa semester IV Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, optimistis, dengan melakukan gerakan kecil, ia bisa memengaruhi orang lain untuk mencintai lingkungan.

Mimpinya, ia ingin memengaruhi sebanyak mungkin orang supaya memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan. Misal dari hal-hal kecil, seperti kebiasaan membuang sampah sembarangan. Menurut Adeline, kebiasaan buruk itu terbentuk karena mereka tak peduli terhadap nasib orang lain dan lingkungan. Jika dibiarkan, kebiasaan buruk yang sering dianggap masalah sepele seperti ini bakal menjadi persoalan besar dan serius bagi lingkungan. Dus, menurut Adeline, kebiasaan itu harus diputus. “Semakin banyak ‘meracuni’ pemikiran dan semangat anak muda, semakin mudah kita mewujudkan yang tak mungkin menjadi mungkin,” tuturnya.

Adeline bermimpi, komunitas Sahabat Alam tak hanya berfokus di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Suatu saat ia ingin ke luar Jawa, seperti Kalimantan atau Riau, untuk menyemangati anak muda dan melakukan sesuatu yang bermanfaat di sana. Apalagi di luar Jawa tak jarang terjadi kasus kebakaran hutan, pembalakan liar, juga banjir.

“Kami ingin menyebarkan semangat pada anak muda di sana dan bergerak bersama-sama,” ujarnya. Remaja yang bercita-cita menjadi penulis dan ingin segera memiliki karya ini percaya, suatu perubahan besar dimulai dari semangat, memiliki gagasan, dan mau berkreativitas. “Saya percaya bahwa yang saya lakukan bukan sebuah ilusi. Kita bisa mewujudkan yang tak mungkin menjadi nyata. Semua dimulai dari sebuah ide,” ujarnya.

Sumber: www.jurnalasia.com/2015/03/28.

Teks 2

Karya Besar Allah dalam Hati Sanubari Chatarina Daemen

Chatarina Daemen dilahirkan pada 19 November 1787 di Laak, dekat Stevensweert. Ia tumbuh dan berkembang sejak masa kecilnya dalam kepolosan dan kerendahan hati, seperti sekuntum bunga fiol di antara rerumputan di taman Tuhan. Dalam pandangan dunia, ia kurang terhormat karena kemiskinan dan tampak kurang berpendidikan. Namun, ia lebih dicintai di mata Tuhan karena kepercayaannya yang besar kepada pertolongan Tuhan, kerendahan hatinya yang mendalam, dan cinta kasihnya yang berkobar. Kepercayaannya terhadap Penyelenggaraan Ilahi yang teguh dan tak tergoyahkan membuat gadis ini menghasilkan pekerjaan besar, yang membuat heran orang kaya, berkuasa, dan tinggi hati, karena Tuhan mengangkat orang yang rendah dan kecil.

Sudah beberapa waktu Chatarina memperhatikan bagaimana anak-anak bermain di jalan dengan menghamburkan waktu yang sangat berharga. Mereka bermain permainan kasar dan jorok tanpa mengarah sedikit pun pada kegiatan yang bermanfaat, karena kesempatan ke arah itu sama sekali tidak ada. Ia berpikir, lalu pergi menemui pastor paroki. Dengan sederhana ia berkata, “Pastor, saya ingin mengajar anak-anak itu menjahit dan merajut, meskipun itu hanya untuk mencegah mereka bermain di jalan. Sementara itu, saya juga dapat memberikan pelajaran agama, bagaimana mereka mengabdi Tuhan dengan baik.”

“Kamu sendiri tidak terpelajar. Dengan demikian kamu sama sekali tidak sesuai dengan pekerjaan itu,” jawab pastor. “Sedikit saja anak-anak yang akan akan datang ke sekolahmu itu.” Namun, ia tidak kecewa dengan jawaban yang tidak enak itu. Ia berkata lagi, “Saya merasakan dalam diri saya sesuatu yang sangat kuat yang mendorong saya ke arah itu. Tuhan menghendaki agar saya, demi kehormatan-Nya, memulai hal itu, dan Dia akan menyelenggarakan.”

Pastor merasa heran dengan kepercayaan yang begitu besar. Ia terpaksa menyetujui rencana itu dan berkata, “Nah, sekarang bukalah sebuah sekolah, tetapi kamu akan segera melihat bahwa kamu sama sekali tidak sesuai untuk mengajar.”

Kemudian Chatarina Daemen menyewa sebuah rumah kecil dan mulai mengajar. Selama dua tahun, gadis yang takut akan Allah ini mengajar anak-anak menjahit dan merajut. Semua orang sangat senang kepadanya karena ia selalu dengan rajin dan tak kenal lelah bekerja. Dengan sepenuh hati, ia mengajar anak-anak dan memperhatikan mereka. Karena itu sekolahnya menjadi penuh sehingga ia tidak mampu menyelesaikan pekerjaan tersebut sendirian. Ia kemudian menerima Johanna Vercoulen, seorang gadis yang saleh. Di biara, ia bernama Maria Clara. Ia mempunyai tujuan yang sama dengan Daemen. Keduanya melayani Yesus dalam diri orang-orang kecil. Mereka mengunjungi orang-orang sakit yang miskin, merawat luka-luka mereka dengan cinta kasih yang mesra. Dalam kemiskinan, mereka masih memberikan bantuan kepada orang-orang yang menderita. Mereka menjalani puasa yang keras. Doa merupakan kegiatan yang mereka cintai.

(Sumber: buku Taman Bunga Santo Fransiskus, hal. 10-12)

  • Diskusi kelompok.

Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil dengan anggota tiap kelompok 3-5 orang.  Sebagai bahan diskusi, kelompok diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan panduan. Ada anggota kelompok yang diberi tugas mencatat hasil diskusi untuk laporan atau presentasi. Beri tahu berapa lama waktu untuk berdiskusi.

Pertanyaan panduan:

  1. Apa kesamaan kedua tokoh di atas?
  2. Sikap-sikap seperti apa yang menonjol dari kedua tokoh di atas?
  3. Apa alasan utama yang mendorong mereka melakukan kegiatan itu?
  4. Dengan meneladan tokoh-tokoh dalam cerita di atas, apa yang dapat Anda lakukan?
  • Laporan

Secara bergantian perwakilan tiap kelompok diminta untuk melaporkan hasil diskusi mereka. Untuk menyingkat waktu jawaban yang sama tidak perlu disebutkan lagi. Setelah semua kelompok melaporkan hasil diskusi, guru dapat memberi catatan tambahan yang belum muncul, atau menekankan kembali hal-hal yang penting. Sebagai pedoman dapat menggunakan catatan peneguhan di bawah ini.

Peneguhan

Budaya instan merupakan budaya dimana orang-orang yang hidup di dalamnya mengutamakan kecepatan, lebih suka melihat hasil dan cenderung kurang menghargai proses atau bahkan tidak ingin menjalani proses itu sendiri. Dengan membudayanya budaya instan membuat orang  malas , tidak mau berusaha dan tidak mau untuk bekerja keras dalam mencapai tujuan atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Orang yang demikian menganggap bahwa kebahagiaan, kekayaan, kesuksesan dan prestasi dapat diraih dengan cara cepat dan mudah.

  1. Apa yang memicu budaya instan?
  2. Pertama, serbuan tuntutan hidup, kompetisi, serta semarak dan serba cepatnya perubahan di lingkungan. Sementara itu, manusia secara biologis maupun psikologis memiliki kapasitas yang terbatas untuk mengolah informasi, melakukan refleksi/permenungan, dan merencanakan adaptasi. Jalan pintas lalu nampak menjadi pilihan yang "realistik dan rasional" di saat orang tidak mampu mengimbangi serbuan perubahan tersebut.
  3. Kedua, perspektif waktu yang kian memendek. Hal ini dipengaruhi oleh revolusi teknologi yang memangkas ruang dan waktu, yang menyediakan cara untuk mamanipulasi badan serta benda-benda seturut keinginan kita secara cepat dan murah, serta kultur yang memuja-muja kecepatan sebagai ukuran pertama kesuksesan.
  4. Ketiga, keterbukaan informasi dan nyaris tak terbatasnya bahan tontonan di sekitar kita. Dengan adanya media jejaring sosial (facebook, twitter, dsb), orang dengan mudah melakukan perbandingan antara dirinya dengan orang lain. Pada saat melakukan pembandingan itu, orang mudah mendapati kenyataan bahwa dirinya masih "kalah atau di bawah" dari orang lain (karena seperti kata pepatah "di atas langit pasti ada langit"). Ditunjang oleh suburnya ungkapan motivasional, "Kalau orang lain bisa, mengapa saya tidak bisa? Kalau orang lain bisa mencapainya dalam 3 jam, mengapa saya harus 3 hari?", lantas membuat orang mengejar terus untuk dapat mencapai apa yang bisa dicapai oleh orang lain (yang tidak ada habisnya). Frustrasi gampang menghinggapi dan menghalalkan segala cara bisa menjadi pilihan terdekat.
  5. Keempat, pertukaran sosial yang dilandasi oleh materialisme dan imajinasi-imajinasi yang tidak lagi mengindahkan pakem moral. Sebagai contoh: Dalam sejarah pernah terjadi bahwa pengampunan dosa dan keselamatan spiritual ("masuk surga") dibayangkan seolah-olah bisa diperoleh dalam sekejap dengan cara menyumbang uang dan fasilitas kepada tempat ibadah. Cinta pasangan hidup seolah-olah bisa dilambangkan oleh perhiasan mahal. Gelar akademik bisa diperoleh dengan menyumbang uang ke kampus.
  6. Kelima, apabila mengikuti penjelasan teori psikologi evolusioner: nenek moyang manusia tidak memiliki alasan yang kuat untuk memiliki tujuan hidup jangka panjang. Hal ini karena yang terpenting bagi mereka pada saat itu adalah survival (bertahan hidup) "pada hari ini" di tengah-tengah buasnya alam. Menurut psikologi evolusioner, penekanan pada masa kini pada nenek moyang kita itu mewariskan "program pikiran" serupa pada generasi-generasi berikutnya, termasuk generasi kita. Pengutamaan tujuan jangka pendek menjadi fokus pikiran.
  7. Keenam, dilupakannya nilai-nilai religius yang menganjurkan kesabaran dan pengendalikan diri untuk mencapai sesuatu yang lebih agung atau mulia. Hal ini karena, disadari atau tidak, terjadi pergeseran dari Tuhan menjadi objek iman, menjadi: pekerjaan, status, harta, prestise, fashion, dan selera menjadi objek iman. Pendidikan gagal mengajak peserta didik untuk mampu mengambil jarak dan melampaui hasrat-hasrat diri sendiri, serta gagal menjadikan Tuhan sebagai pusat kehidupan.
  • Baik atau burukkah budaya instan?

Budaya instan dapat berdampak buruk apabila melanggar prinsip-prinsip moral, seperti kejujuran. Sebagai contoh: menggunakan joki agar lulus ujian masuk perguruan tinggi. Budaya instan juga dapat menyebabkan frustrasi, kemarahan, bahkan depresi. Singkatnya, kesehatan jiwa memburuk. Hal ini karena dalam budaya instan terdapat asumsi bahwa kita dapat dengan instan mencapai apapun yang kita kehendaki. Padahal kenyataannya adalah tidak semua yang kita kehendaki dapat kita capai, apalagi dengan mudah dan cepat.

Dampak negatif lainnya adalah berkembangnya irasionalitas dan mistisisme. Oleh karena ingin serba cepat, orang ingin segala sesuatu seperti sulap magis, seperti "kantong Doraemon". Maka dapat kita saksikan orang berduyun-duyun datang ke Ponari untuk memperoleh jawaban atas segala persoalan hidup.

Budaya instan juga dapat menurunkan derajat manusia ke tingkat hewani, karena sebenarnya yang membedakan manusia dengan hewan adalah kemampuan manusia untuk menunda pemuasan kebutuhannya.

Budaya instan juga dapat menyebabkan perbenturan dan konflik sosial. Misalnya, ketika kesuksesan satu pihak yang menggunakan metode instan menimbulkan iri hati pada pihak lain yang menempuh proses yang wajar, atau pada pihak lain yang memiliki definisi "instan" yang kecepatannya tidak sama.

Yang terakhir, budaya instan dapat menimbulkan kepalsuan diri. Sebagai contoh: implan payudara dan penggunaan steroid terlarang bagi olahragawan untuk meningkatkan peforma. Hal tersebut bagi sebagian pihak menimbulkan persoalan mengenai keaslian atau otentisitas diri.

Kendati demikian, budaya instan dapat berdampak baik. Sebagai contoh: Pada saat darurat kebencanaan, mie instan dibutuhkan oleh korban bencana. Kita juga memuji pelayanan publik (pembuatan KTP, paspor, dll) yang instan, dalam arti: yang efisien, tidak berbelit-belit. Budaya instan juga baik ketika memiliki fungsi meningkatkan pemberdayaan diri. Sebagai contoh: adanya tes kehamilan dan tes penyakit diabetes instan yang bisa dilakukan sendiri melalui test pack. Juga, ketika mahasiswa bisa mengikuti perkuliahan profesor dari Harvard, Cambridge, dll, melalui online video dan e-book, dari rumah masing-masing. Di samping itu, budaya instan juga berdampak baik jika kita mengingat proses yang menyusunnya. Sebagai contoh, di balik restoran-restoran makanan cepat saji, di baliknya terdapat standarisasi proses dan produk yang ditaati secara disiplin.

Bagi sistem/tatanan, dampak yang jelas adalah suburnya budaya yang menekankan produktivitas. Kuantitas yang tinggi dalam waktu yang pendek menjadi indikator kinerja di mana-mana. Namun pada saat yang sama, interaksi sosial yang tulus dan otentik (dalam keluarga, antar tetangga, antar sejawat) memudar bahkan hilang karena semua relasi dibalut oleh kepentingan yang diburu waktu untuk dipenuhi. Orang juga sudah tidak memiliki "kavling pribadi". Mengapa? Karena ada tekanan sosial bagi setiap orang untuk memberikan respons yang lekas/segera. Email, WhatsApp, SMS harus cepat dibalas. Seorang karyawan harus bisa dihubungi oleh karyawan yang lain setiap saat untuk urusan pekerjaan, sebab bila tidak, karyawan tersebut akan dianggap tidak peduli kepada nasib organisasi. Dengan perkataan lain, ruang dan waktu privat telah direnggut oleh budaya instan. 

Di samping itu, budaya instan memiliki konsekuensi pada melemahnya pengendalian diri dan pengendalian sosial. Bila seseorang memiliki kebutuhan seksual, ia dengan mudah mencari video porno di internet dan segera bermasturbasi. Bila lebih lemah lagi kontrol moralnya, pelecehan seksual di kendaraan umum atau pemerkosaan di lahan publik bisa terjadi. Bila sebuah kelompok berbeda keyakinan dengan kelompok lain, maka berkumpul dalam massa, memberikan tekanan masal, bahkan kekerasan masal untuk menyingkirkan kelompok yang berbeda menjadi pilihan yang segera diambil. Yang lebih menarik lagi adalah menggejalanya narsisisme kolektif dalam tatanan sosial kita. Sebagai contoh: Kelompok-kelompok yang bertarung dalam Pilkada ingin mengetahui secepat-cepatnya hasil quick count. Mereka akan menjadi sangat gelisah dan curiga berlebihan, bahkan mudah marah, bila terjadi penundaan sebentar saja. Di perusahaan, para karyawan mengeluh seperti sebuah simfoni, "Apa yang dapat Perusahaan berikan untukku?".

  • Hal apa yang perlu diwaspadai dari budaya instan, dan apakah fenomena ini bisa diredam?

Bagi saya, hal mendasar yang patut diwaspadai adalah kehilangan diri, kehilangan makna hidup sebagai pribadi dan makna hidup bermasyarakat, karena tenggelam dalam arus instanisme. Dengan larut dalam budaya instan, lama-kelamaan kita tidak mengenal lagi: Siapa diriku sebenarnya? Mengapa gaya hidupku kini seperti ini? Mengapa kini aku jauh dari orang-orang yang sebelumnya dekat denganku? Apa sebenarnya yang aku tuju di dunia ini? Budaya instan tidak bisa diredam karena merupakan konsekuensi logis dari kemajuan peradaban.

Namun demikian, dampaknya dapat diminimalkan dengan menciptakan penyangga-penyangga psikologis dan sosial agar diri tidak larut dan "hilang" dalam pusaran budaya instan. Caranya adalah sejak kecil anak diberikan edukasi informal maupun formal tentang penundaan pemenuhan kebutuhan (delayed gratification).

Cara lainnya adalah dengan memperbanyak ruang-ruang refleksi dan ekspresi yang asli, yang tidak termakan oleh arus kepentingan sehari-hari. Ruang-ruang itu bisa diisi dengan kegiatan berkesenian, kegiatan spiritual, atau kegiatan kreatif lainnya yang intinya menciptakan "halte-halte berhenti" yang mampu memecah arus/pusaran kecepatan itu. Dengan demikian, kesadaran kita yang terenggut itu menjadi utuh kembali, dan kita kembali menguasai diri kita. Ruang refleksi itu juga dapat diisi dengan kegiatan diskusi yang membongkar kebiasaan "berpacu dalam kecepatan". Misalnya, di tengah-tengah arus global, orang dapat bersama-sama dalam komunitas lokalnya mendefinsikan ulang apa arti "waktu", "produktivitas", "sukses", "kerja", "indah", "kebutuhan", "keinginan", "hubungan", dan apa artinya "hidup".


(butir-butir pemikiran Juneman Abraham, psikolog sosial dari Universitas Bina Nusantara.Tulisan ini sudah diterbitkan dalam versi yang telah diringkas dan disunting dalam Wawancara oleh MEDIA KAWASAN Edisi April 2014)

  • Refleksi

Setelah mengenal kedua tokoh, yaitu ibu Magdalena Daemen dan Adeline Tiffanie Suwana, gagasan apa yang muncul dalam diri Anda? Tulislah niat-niat Anda untuk mewujudkan gagasan-gagasan itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *